IPTN.. dalam kenangan
Posted: 04 Sep 2007, 17:06
http://www.detiknews.com/index.php/deti ... idkanal/10
Bagaimana pendapat rekan2..?
===============
Dikutip dari salah satu Blog :
"Tuntas" sudah perjalanan salah satu BUMN yang pernah jadi kebanggaan nasional. PT Dirgantara Indonesia,yang dulu dikenal dengan nama IPTN, divonis PAILIT alias bangkrut oleh Pengadilan Niaga kita. Apa yah konsekuensi dari dinyatakan pailit? Saya pribadi gak tau persis, namun rasanya semua properti akan disita untuk kemudian entah dilelang atau apa dan dibagikan kepada pihak yang merasa dirugikan, dan bentuk real
dari perusahaan itu akan hilang di dunia nyata.
Hmm, suatu kisah sedih terpuruknya aset teknologi nusa dan bangsa. PT DI sendiri konon didirikan atas permintaan Habibie sebagai syarat agar beliau mau balik ke Indonesia karena sumbangsihnya diminta oleh
Pak Harto. BJ Habibie yang di domestik kadang dicaci maki, namun di dunia internasional, khususnya di dunia aviation dihormati banyak orang, dulunya adalah salah satu wakil direktur di perusahaan penerbangan
Jerman. Genius bangsa ini memegang hak paten perhitungan keretakan atom di badan pesawat, di mana paten maha penting ini sangat terpakai dalam manufakturing berbagai jenis pesawat. Tanpa jadi presiden pun
beliau sudah cukup kaya raya dengan royalti yang diterimanya, dan kini lebih memilih "mengasingkan diri" ke Jerman dan menikmati hari tuanya di sana sembari menemani sang isteri yang sakit, daripada tinggal di
domestik dan hanya menuai hujatan saja.
Dalam perjalanannya, PT DI sempat bekerja sama dengan Cassa untuk menciptakan pesawat CN-235 Tetuko. Langkah ini dilanjutkan dengan keberhasilan memproduksi pesawat, yang sekalipun masih memakai propeller, N-250, sebuah pesawat mesin ganda turbo ber-propeller, dengan kapasitas 50 kursi. Pesawat ini sempat dijajakan di berbagai negara. Laku atau tidaknya saya kurang tau. Namun yang jelas isu yang sampai ke telinga kita, dana reboisasi, adalah di"salahgunakan" dengan disalurkan ke IPTN untuk pengembangan proyek di sana. Di era krisis ekonomi, pesawat buatan IPTN pun sempat dijual ke Thailand, namun imbal baliknya adalah beras ketan dan bukan uang. Karenanya banyak yang menyindir sebagai teknologi tak guna karena cuma bisa
ditukar dengan beras ketan saja.
Selanjutnya, IPTN terus jatuh bangun, bahkan konon katanya, demi menghidupi perusahaan itu, panci pun sempat dibuat di sana. IPTN tidak bisa lagi menyusu di era reformasi, sedangkan badannya telanjur gemuk
karena kelebihan pegawai, dan ketidakseimbangan pemasukan serta pengeluaran. Akibatnya dengan berat hati, ribuan karyawan dipangkas, yang memicu pada demonstrasi yang berakhir di ujung pengadilan yang
membangkrutkan IPTN. Sebenarnya di situ banyak sekali pegawai yang bergelar doktor dan orang-orang pintar kita. Dulunya memang IPTN menjadi primadona, dan mampu memberikan kesejahteraan agak lumayan.
Kini orang pintar itu kita banyak yang putus asa dan bertebaran di berbagai negara. Padahal mereka sesungguhnya aset bangsa yang sangat berharga. Menurut seorang teman yang kakaknya adalah engineer
di IPTN, banyak jebolan IPTN yang kini direkrut oleh Boeing dan Mc Douglas. Bahkan, imbuh teman saya yang lain, Malaysia yang kini mulai melirik industri penerbangan, menempatkan para jebolan IPTN dalam
posisi yang tinggi di tempat mereka. Orang pintar itu sebenarnya banyak yang idealis. Mereka gak berpikir neko-neko. Namun karena keadaan memaksa, apa boleh buat kadang mereka harus mengorbankan
idealisme dan nasionalisme mereka, dengan memberikan kepiawaiannya kepada bangsa lain demi sesuap nasi sebagai penyangga hidup mereka. Sangat ridiculous apabila kesalahan dibebankan kepada mereka
semata, padahal mereka juga manusia biasa yang butuh kesejahteraan cukup.
Suatu ketika, saat kuliah di negeri utara sana, saya pernah berbincang dengan rekan yang tau banyak tentang IPTN. Saya tanyakan kepadanya, kenapa Pak Habibie ngotot menciptakan sesuatu yang akhirnya dilecehkan
orang karena ditukar dengan beras ketan? Apakah gak lebih baik kita konsentrasi pada pengembangan ilmu pertanian karena kita negara agraris? Bukankah teknologi secanggih itu belum berdaya guna buat kita
yang lebih butuh uang segar, sedangkan menjual pesawat itu tidak mudah?
Menurut teman yang satu ini, konsep pemikiran beda. Pak Habibie adalah seorang teknokrat dan teknolog. Tentulah tidak bisa dibilang sepandai ahli ekonomi yang mampu menghitung detail, ataupun yang maunya
langsung dapat uang segar dari suatu usaha. IMHO, kalau kita lihat, memang yang namanya teknologi dan RND itu adalah suatu investasi di masa depan. Hasilnya boleh jadi tidak nampak jelas di masa kini, namun itu tetaplah penting, karena suatu ketika kita harus jadi deasiner dan bukan tukang jahit. Tukang jahit cuma hidup dari order yang datang. Order tak datang matilah dia. Kalau desainer, dia sanggup berinovasi, untuk menyuguhkan desain terbaru bahkan memperluas market dengan kepiawaian dan desain ciptaannya. Namun untuk bisa ke sana, desain pun perlu belajar, perlu invest di bidang RND, dengan belajar dll. Sama halnya
dengan kondisi bangsa yang pengen maju, yang juga harus bersikpa seperti itu.
Pak Habibie, konon katanya, memegang konsep terbalik. Kalau ingin membuat suatu rumah, rumah yang ada kita bongkar dan pasang kembali, kemudian per bagiannya kita teliti satu per satu dan kita buat sendiri dengan skill dan kemampuan kita. Kalau harus belajar dari ilmu material, yakni apa itu bahannya, lantas belajar buat jendela dulu, lalu buat pintunya dll, akan memakan waktu yang lama. Langsung saja buat rumahnya, dengan demikian kita dengan sendirinya akan dituntut untuk belajar tentang window, pintu dll.
Harapan beliau, dengan melompat ke teknologi pesawat yang lebih tinggi, teknologi di bawahnya, dengan sendirinya akan terbawa, alias akan mudah kita kuasai. Membuat pesawat tidaklah mudah, dan tak banyak
negeri yang mampu melakukannya. Apabila teknologi dikuasai, kita akan bisa maju, dan di masa depan, sang penguasa teknologi lah yang menguasai dunia. Yang gak ngerti teknologi hanyalah jadi bangsa konsumer yang akan terus dibodohi dan sangat tergantung.
Namun harapan tinggal harapan. Badai ekonomi yang menerpa negeri kita akhirnya menghancurkan semua impian itu. IPTN sebenarnya masih produktif dan bahkan mampu melayani pesanan pembuatan sayap pesawat dari Boeing, Airbus dll. Jangan kaget kalau sesungguhnya saya pesawat jet komersial yang kita tumpangi sebenarnya adalah buatan kita juga. Apa hendak dikata, mungkin sudah garis tangan kita untuk gak perlu
menguasai teknologi tinggi. Atau barangkali belum waktunya buat kita ke sana. Kalau pertanian yang diandalkan,mengapa dalam teknologi ke sana, lagi-lagi kita tertinggal dari Thailand dan Vietnam, padahal kita dulu
mampu menghasilkan bibit padi seperti IR, Gogo Rancah dll?
Kadang memang dunia realita tidak seindah dunia idealis. Kadang impian kita memang sulit terwujud, meski itu kadang terasa menyakitkan. Entah ini adalah takdir ataukah ini masih bisa diusahakan. Yang jelas banyak
yang disayangkan apabila memang IPTN benar2 lenyap. Investasi teknologi akan lenyap begitu saja dan belum tentu bisa diwujudkan kembali di masa depan. Terus, para genius kita akan berkeliaran entah kemana, dan kini pun sudah banyak yang terpaksa melakukan hal itu. Pro kontra tentang IPTN sudah cukup menyita waktu, pikiran dan tenaga. Namun apa boleh buat agaknya buah simalakama yang harus kita telan. Dimakan ibu mati tidak dimakan bapak mati. Tapi mengapa kita selalu dihadapkan pada pilihan buah simalakama? Apakah Tuhan sebegitu jahat hingga kita ditakdirkan harus selalu berhadapan dengan buah imalakama?
Au deh, dari kasus PLTN, IPTN, Freeport dll, kadang bingung, apakah kita benar ditakdirkan gak boleh menguasai teknologi tinggi itu? Apakah memang belum waktunya yah ke sana? Sekali lagi yang bingungin
juga kenapa kita harus selalu berhadapan dengan buah simalakama, dimana hasil yang mana pun gak menguntungkan kita? Cukup sudah buat saya pribadi untuk berbicara tentang IPTN. Hati ini jadi tambah
sedih melihat mantan aset yang pernah jadi kebanggaan bangsa. IPTN yang carut marut secara tak langsung mencerminkan pula carut marutnya manajemen kita semua. Tapi apa hendak dikata, barangkali itu sudah
takdir kita, dan kita perlu tanyakan Tuhn kenapa kita ditakdirkan begitu. Dan Tuhan mungkin akan "marah" ke kita, bukankah itu buah dari kebodohan kita sendiri, dan kenapa takdir yang disalahkan?
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
Bagaimana pendapat rekan2..?
===============
Dikutip dari salah satu Blog :
"Tuntas" sudah perjalanan salah satu BUMN yang pernah jadi kebanggaan nasional. PT Dirgantara Indonesia,yang dulu dikenal dengan nama IPTN, divonis PAILIT alias bangkrut oleh Pengadilan Niaga kita. Apa yah konsekuensi dari dinyatakan pailit? Saya pribadi gak tau persis, namun rasanya semua properti akan disita untuk kemudian entah dilelang atau apa dan dibagikan kepada pihak yang merasa dirugikan, dan bentuk real
dari perusahaan itu akan hilang di dunia nyata.
Hmm, suatu kisah sedih terpuruknya aset teknologi nusa dan bangsa. PT DI sendiri konon didirikan atas permintaan Habibie sebagai syarat agar beliau mau balik ke Indonesia karena sumbangsihnya diminta oleh
Pak Harto. BJ Habibie yang di domestik kadang dicaci maki, namun di dunia internasional, khususnya di dunia aviation dihormati banyak orang, dulunya adalah salah satu wakil direktur di perusahaan penerbangan
Jerman. Genius bangsa ini memegang hak paten perhitungan keretakan atom di badan pesawat, di mana paten maha penting ini sangat terpakai dalam manufakturing berbagai jenis pesawat. Tanpa jadi presiden pun
beliau sudah cukup kaya raya dengan royalti yang diterimanya, dan kini lebih memilih "mengasingkan diri" ke Jerman dan menikmati hari tuanya di sana sembari menemani sang isteri yang sakit, daripada tinggal di
domestik dan hanya menuai hujatan saja.
Dalam perjalanannya, PT DI sempat bekerja sama dengan Cassa untuk menciptakan pesawat CN-235 Tetuko. Langkah ini dilanjutkan dengan keberhasilan memproduksi pesawat, yang sekalipun masih memakai propeller, N-250, sebuah pesawat mesin ganda turbo ber-propeller, dengan kapasitas 50 kursi. Pesawat ini sempat dijajakan di berbagai negara. Laku atau tidaknya saya kurang tau. Namun yang jelas isu yang sampai ke telinga kita, dana reboisasi, adalah di"salahgunakan" dengan disalurkan ke IPTN untuk pengembangan proyek di sana. Di era krisis ekonomi, pesawat buatan IPTN pun sempat dijual ke Thailand, namun imbal baliknya adalah beras ketan dan bukan uang. Karenanya banyak yang menyindir sebagai teknologi tak guna karena cuma bisa
ditukar dengan beras ketan saja.
Selanjutnya, IPTN terus jatuh bangun, bahkan konon katanya, demi menghidupi perusahaan itu, panci pun sempat dibuat di sana. IPTN tidak bisa lagi menyusu di era reformasi, sedangkan badannya telanjur gemuk
karena kelebihan pegawai, dan ketidakseimbangan pemasukan serta pengeluaran. Akibatnya dengan berat hati, ribuan karyawan dipangkas, yang memicu pada demonstrasi yang berakhir di ujung pengadilan yang
membangkrutkan IPTN. Sebenarnya di situ banyak sekali pegawai yang bergelar doktor dan orang-orang pintar kita. Dulunya memang IPTN menjadi primadona, dan mampu memberikan kesejahteraan agak lumayan.
Kini orang pintar itu kita banyak yang putus asa dan bertebaran di berbagai negara. Padahal mereka sesungguhnya aset bangsa yang sangat berharga. Menurut seorang teman yang kakaknya adalah engineer
di IPTN, banyak jebolan IPTN yang kini direkrut oleh Boeing dan Mc Douglas. Bahkan, imbuh teman saya yang lain, Malaysia yang kini mulai melirik industri penerbangan, menempatkan para jebolan IPTN dalam
posisi yang tinggi di tempat mereka. Orang pintar itu sebenarnya banyak yang idealis. Mereka gak berpikir neko-neko. Namun karena keadaan memaksa, apa boleh buat kadang mereka harus mengorbankan
idealisme dan nasionalisme mereka, dengan memberikan kepiawaiannya kepada bangsa lain demi sesuap nasi sebagai penyangga hidup mereka. Sangat ridiculous apabila kesalahan dibebankan kepada mereka
semata, padahal mereka juga manusia biasa yang butuh kesejahteraan cukup.
Suatu ketika, saat kuliah di negeri utara sana, saya pernah berbincang dengan rekan yang tau banyak tentang IPTN. Saya tanyakan kepadanya, kenapa Pak Habibie ngotot menciptakan sesuatu yang akhirnya dilecehkan
orang karena ditukar dengan beras ketan? Apakah gak lebih baik kita konsentrasi pada pengembangan ilmu pertanian karena kita negara agraris? Bukankah teknologi secanggih itu belum berdaya guna buat kita
yang lebih butuh uang segar, sedangkan menjual pesawat itu tidak mudah?
Menurut teman yang satu ini, konsep pemikiran beda. Pak Habibie adalah seorang teknokrat dan teknolog. Tentulah tidak bisa dibilang sepandai ahli ekonomi yang mampu menghitung detail, ataupun yang maunya
langsung dapat uang segar dari suatu usaha. IMHO, kalau kita lihat, memang yang namanya teknologi dan RND itu adalah suatu investasi di masa depan. Hasilnya boleh jadi tidak nampak jelas di masa kini, namun itu tetaplah penting, karena suatu ketika kita harus jadi deasiner dan bukan tukang jahit. Tukang jahit cuma hidup dari order yang datang. Order tak datang matilah dia. Kalau desainer, dia sanggup berinovasi, untuk menyuguhkan desain terbaru bahkan memperluas market dengan kepiawaian dan desain ciptaannya. Namun untuk bisa ke sana, desain pun perlu belajar, perlu invest di bidang RND, dengan belajar dll. Sama halnya
dengan kondisi bangsa yang pengen maju, yang juga harus bersikpa seperti itu.
Pak Habibie, konon katanya, memegang konsep terbalik. Kalau ingin membuat suatu rumah, rumah yang ada kita bongkar dan pasang kembali, kemudian per bagiannya kita teliti satu per satu dan kita buat sendiri dengan skill dan kemampuan kita. Kalau harus belajar dari ilmu material, yakni apa itu bahannya, lantas belajar buat jendela dulu, lalu buat pintunya dll, akan memakan waktu yang lama. Langsung saja buat rumahnya, dengan demikian kita dengan sendirinya akan dituntut untuk belajar tentang window, pintu dll.
Harapan beliau, dengan melompat ke teknologi pesawat yang lebih tinggi, teknologi di bawahnya, dengan sendirinya akan terbawa, alias akan mudah kita kuasai. Membuat pesawat tidaklah mudah, dan tak banyak
negeri yang mampu melakukannya. Apabila teknologi dikuasai, kita akan bisa maju, dan di masa depan, sang penguasa teknologi lah yang menguasai dunia. Yang gak ngerti teknologi hanyalah jadi bangsa konsumer yang akan terus dibodohi dan sangat tergantung.
Namun harapan tinggal harapan. Badai ekonomi yang menerpa negeri kita akhirnya menghancurkan semua impian itu. IPTN sebenarnya masih produktif dan bahkan mampu melayani pesanan pembuatan sayap pesawat dari Boeing, Airbus dll. Jangan kaget kalau sesungguhnya saya pesawat jet komersial yang kita tumpangi sebenarnya adalah buatan kita juga. Apa hendak dikata, mungkin sudah garis tangan kita untuk gak perlu
menguasai teknologi tinggi. Atau barangkali belum waktunya buat kita ke sana. Kalau pertanian yang diandalkan,mengapa dalam teknologi ke sana, lagi-lagi kita tertinggal dari Thailand dan Vietnam, padahal kita dulu
mampu menghasilkan bibit padi seperti IR, Gogo Rancah dll?
Kadang memang dunia realita tidak seindah dunia idealis. Kadang impian kita memang sulit terwujud, meski itu kadang terasa menyakitkan. Entah ini adalah takdir ataukah ini masih bisa diusahakan. Yang jelas banyak
yang disayangkan apabila memang IPTN benar2 lenyap. Investasi teknologi akan lenyap begitu saja dan belum tentu bisa diwujudkan kembali di masa depan. Terus, para genius kita akan berkeliaran entah kemana, dan kini pun sudah banyak yang terpaksa melakukan hal itu. Pro kontra tentang IPTN sudah cukup menyita waktu, pikiran dan tenaga. Namun apa boleh buat agaknya buah simalakama yang harus kita telan. Dimakan ibu mati tidak dimakan bapak mati. Tapi mengapa kita selalu dihadapkan pada pilihan buah simalakama? Apakah Tuhan sebegitu jahat hingga kita ditakdirkan harus selalu berhadapan dengan buah imalakama?
Au deh, dari kasus PLTN, IPTN, Freeport dll, kadang bingung, apakah kita benar ditakdirkan gak boleh menguasai teknologi tinggi itu? Apakah memang belum waktunya yah ke sana? Sekali lagi yang bingungin
juga kenapa kita harus selalu berhadapan dengan buah simalakama, dimana hasil yang mana pun gak menguntungkan kita? Cukup sudah buat saya pribadi untuk berbicara tentang IPTN. Hati ini jadi tambah
sedih melihat mantan aset yang pernah jadi kebanggaan bangsa. IPTN yang carut marut secara tak langsung mencerminkan pula carut marutnya manajemen kita semua. Tapi apa hendak dikata, barangkali itu sudah
takdir kita, dan kita perlu tanyakan Tuhn kenapa kita ditakdirkan begitu. Dan Tuhan mungkin akan "marah" ke kita, bukankah itu buah dari kebodohan kita sendiri, dan kenapa takdir yang disalahkan?
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com