Iya tuh, nyebelin ya..
Peraturan yang dipaksakan seperti ini menghambat pertumbuhan kreativitas.
Kalau larangan terbang di
controlled area atau
restricted area okelah bisa diterima.
Tapi banyak hal yang tidak dijelaskan dalam peraturan tersebut.
Misalnya "Dokumen Asuransi" (3.4.h) dan "Kompetensi dan Pengalaman Pilot" (3.4.g) itu apa, tidak jelas.
Emangnya ada perusahaan asuransi yang mengcover kecelakaan drone? Kalaupun mau tanya ke perusahaan asuransi, itu masuk kecelakaan lalu-lintas atau kecelakaan pesawat terbang, hayooo...
Trus yang ditanya dari kompetensi pilot apaan? Ngga jelas, dan tidak ada contohnya dari kemenhub.

Lalu yang paling merepotkan permintaan ijin dari institusi yang berwenang dan pemerintah daerah untuk mengambil gambar.
Lha... Institusi mana yang berwenang? Lalu Pemda mana nih, Pemda tk.2, tk.1 atau cukup kelurahan/kepala desa?
Ini bisa masuk ranah pembatasan kebebasan mendapatkan berita dong kalau begitu. Semua gambar yang diambil crew media tv kan pasti tidak pakai ijin dari pemda dan "institusi yang berwenang" (entah yang mana institusinya).
Juga semua yang menerbangkan pesawat aeromodelling termasuk phantom, dan quadcopter, pokoknya yang ada kamera di pesawatnya juga wajib mengurus dulu izin ke kantor bupati/walikota setiap kali mau terbang, kalau ngga nanti ditangkap polisi.
Hal seperti ini yang membuka banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh pejabat2 di segala tingkatan. Dan pasti membatasi kreativitas.
Pengguna drone akan merapatkan barisan (kompas.com)